Menurut Jenkins (2004), semua identitas manusia merupakan identitas sosial. Identitas sosial memaknai bagaimana kita mengidentifikasi kemiripan dan perbedaan dengan kelompok maupun individu lain. Untuk mengidentifikasi diri dengan kelompok mana pun, entah itu kelompok etnis maupun organisasi daring, kita akan mencari kesamaan antara para anggota kelompok dengan diri kita. Kesamaan ini memungkinkan si individu untuk mengenali berbagai perbedaan antara dirinya dengan segenap anggota kelompok.
Proses komparatif ini dikenal sebagai momen identifikasi dialektik internal dan eksternal (Jenkins, 2000). Berbagai perbandingan yang dipikirkan oleh individu ini menunjukkan bagaimana ia membedakan diri mereka dari yang lain dalam hal kesamaan yang dimiliki dan perbedaan yang mereka kenali. Di lain sisi, perbandingan eksternal melibatkan bagaimana orang lain mengidentifikasi si individu, dalam kesamaan dan perbedaan yang mereka lihat antara individu tersebut, diri mereka, dan kelompok tertentu. Karena perbandingan internal dan eksternal menentukan aspek aktif dan tersosialisasi dari seseorang, keduanya memungkinkan diferensiasi dari I dan me yang membentuk self yang terintegrasi (James dalam Code & Zap, 2009). Internet memungkinkan para individu untuk berkembang dan mengekspresikan beragam identitas sosial, juga bereksperimen dengan beragam identitas virtual yang baru.
Identitas sosial merupakan konstruksi sentral dalam memahami relasi antar kelompok dan merupakan elemen kunci dalam menghubungkan individu pada kelompok sosialnya (Tajfel dalam Code & Zap, 2009). Lebih jauh lagi, Tajfel menyatakan dasar dari Social Identity theory mengenai keanggotaan dan perilaku kelompok menemukan bahwa pengelompokan sosial mempengaruhi persepsi orang terhadap orang lain dan diri seseorang.
Tajfel menyatakan identitas sosial merupakan bagian dari konsep diri (atau identitas diri) yang berasal dari pengetahuan individu mengenai keanggotaan pada kelompok sosial, bersama dengan signifikansi nilai dan emosional yang menyertainya. Karena tiap individu tergabung dalam beragam kelompok sosial, maka keseluruhan konsep diri mereka terdiri dari beragam identitas sosial (Ashforth & Mael, 1989; Hogg, Terry, & White, 1995; Jenkins, 2004; dalam Code & Zap, 2009).
Beragam identitas sosial ini memungkinkan individu untuk mengadopsi beragam peran dan menyesuaikan diri terhadap beragam konteks sosial. Konteks-konteks sosial ini, dimana identitas sosial berada, mendukung naluri pluralistik dari self. Karena kelompok sosial eksis dalam beragam level, misalnya secara sosial, kultural, industrial, organisasional, fungsional dan profesional (Korte, 2007), identitas sosial individu terfasilitasi melalui komunikasi di dalam dan di antara level-level tersebut. Misalnya, seorang dosen dapat mengidentifikasi dirinya sebagai seorang guru, orangtua, kawan, pendamping, dan administrator, berdasarkan konteks sosialnya.
Penggunaan teknologi komunikasi yang berbasis internet, seperti instant messaging (IM) dan jejaring sosial memampukan perluasan konteks sosial di mana para individu dapat berinteraksi. Beragam konteks sosial dan hubungan yang dikembangkan menggunakan teknologi semacam itu memfasilitasi perkembangan dan rekognisi atau pengenalan dari identifikasi sosial seseorang.
Referensi:
Code, J. R. dan Zap, N. (2010). Social Identities, Group Formation, and the Analysis of Online Communities. Diakses dari http://wiki.stoa.usp.br/images/8/89/Socialidentity.pdf.
Jenkins, R. (2004). Social Identity. New York, NY: Routledge.