“You can’t fool me, I listen to public radio!”
– Squidward Tentacles
Kontras dengan gagasan masyarakat mengenai matinya media konvensional akibat kemunculan internet, beberapa ilmuwan telah merumuskan bahwa ia akan tetap bertahan. Richard L. Daft dan Robert H. Lengel (1986) dalam Media Richness Theory (MRT) serta para Elihu Katz, dkk selaku penggagas teori Uses and Gratifications adalah sebagian di antaranya.
Teori Kekayaan Media (MRT) dibuat berdasarkan teori kontingensi dan teori pemrosesan informasi milik Galbraith (1977). Teori ini merupakan teori yang paling berpengaruh dalam kajian media baru menurut Littlejohn & Foss (2009). Menyasar pada ranah bisnis dan manajemen, MRT menggagas bahwa manajer dapat meningkatkan kinerja karyawannya bila ia bisa menyesuaikan karakteristik dan kemampuan suatu media dengan pekerjaan yang harus diselesaikan (Littlejohn & Foss, 2009, p. 642).
Konsep “kekayaan” suatu medium ditentukan oleh empat hirarki, yaitu: (i) ada/tidaknya respon langsung, (ii) kemampuan medium untuk mentransmisikan beragam simbol, (iii) penggunaan bahasa asli dan (iv) aspek personal suatu medium (Littlejohn & Foss, 2009, p. 642; Joshi, 2006, p. 41). Komunikasi tatap muka merupakan medium komunikasi yang paling “kaya” karena tidak menggunakan perantara apa pun.
Semakin termediasi suatu interaksi, “kekayaan” informasinya semakin berkurang. Maka, Daft dan Lengel menemukan bahwa media dengan “kekayaan” yang dalam lebih cocok digunakan untuk tugas-tugas yang membutuhkan kesamaan sudut pandang, karena media semacam ini memungkinkan pertukaran banyak simbol yang dapat mengurangi noise dan ambiguitas informasi (Littlejohn & Foss, 2009, p. 641). Demikian juga sebaliknya, tugas-tugas yang bersifat lebih personal sebab apabila menggunakan media yang “kaya,” overflow informasi akan terjadi.
Teori ini telah banyak dibuktikan dalam berbagai penelitian, salah satunya oleh Joshi. Joshi menemukan bahwa terdapat dua asumsi besar dari teori ini. Asumsi pertama adalah bahwa pengguna media berusaha untuk mengurangi ketidakjelasan dan ketidakpastian dalam institusi/organisasi, maka mereka menyadari bahwa ada bermacam-macam media yang dapat mereka manfaatkan untuk mengerjakan beragam tugas mereka (Joshi, 2006, p. 40).
Pada dasarnya, MRT bukanlah sebuah teori yang mengonsep media choice melainkan media use. Namun, titik buta Daft dan Lengel telah dikoreksi oleh sejumlah ilmuwan lain yang, dalam berbagai tulisan mereka, menemukan bahwa teori MRT seharusnya merupakan teori media choice. Dengan kata lain, argumen Daft dan Lengel mengenai teori ini sedikit bergeser dan disesuaikan untuk meneliti media choice (Littlejohn & Foss, 2009, p. 642).
“Public radio is alive and kicking, it always have been.”
– Harold Brodkey
Sementara itu, teori uses and gratifications melihat audiens sebagai elemen aktif dalam menggunakan media (Littlejohn & Foss, 2011, p. 351). Teori ini melihat penggunaan media dari sisi user dimana pengguna menggunakan media untuk mengratifikasi (gratify) dirinya sendiri (Reinhard & Dervin dalam Wood, 2012, p. 231). Terdapat dua pendekatan dalam teori ini yaitu expectancy-value theory dan dependency theory. Expectancy-value theory memiliki asumsi dasar seperti tertulis dalam kutipan berikut:
“…the gratifications you seek from media are determined by your attitude toward the media—your beliefs about what a particular medium can give you—and your evaluations of this material.” (Littlejohn & Foss, 2011, p. 351).
Jadi, expectancy-value theory melihat bahwa seseorang sebelum menggunakan media telah terlebih dahulu memiliki asumsi-asumsinya terhadap keuntungan yang ia dapatkan dari penggunaan media yang bersangkutan. Sub-teori yang kedua, dependency theory, dapat dijelaskan melalui kutipan berikut:
“…dependency theory predicts that audience depend on media information to meet certain needs and to achieve certain goals.” (Littlejohn & Foss, 2011, p. 352)
Dependency theory melihat bahwa seorang pengguna media bergantung pada media untuk mencari informasi demi pemenuhan dirinya. Kedua sub-teori dari uses and gratifications theory ini sama-sama berorientasi pada user dengan memandang mereka sebagai elemen yang proaktif.